Adi Sasono (lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 16 Februari 1943; umur 69 tahun) adalah mantan Menteri Koperasi dan UKM pada era Kabinet Reformasi Pembangunan. Ia dikenal sebagai tokoh LSM dan berbagai aktivitas kemasyarakatan lainnya. Selain itu ia juga merupakan tokoh [(Himpunan Mahasiswa Islam]] (HMI), Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI), Pelajar Islam Indonesia (PII) dan ICMI dengan pernah menjadi Sekretaris Umum pada tahun 1990-an.
Adi Sasono merupakan anak dari pasangan Adnan Martawiredja dan Sasinah Ranuwihardjo. Ayahnya dikenal sebagai tokoh penggerak pembauran warga pribumi dan nonpribumi di Pekalongan. Bersama sang istri, ayahnya juga tercatat sebagai aktivis sosial terutama dalam bidang pendidikan dan penyantunan anak yatim dan fakir miskin. Kepedulian orang tuanya terhadap kegiatan kemasyarakatan khususnya yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat di kemudian hari juga menurun pada Adi Sasono.
Setelah tamat SMA, cucu dari Mochammad Roem ini melanjutkan pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Semasa duduk di bangku kuliah, Adi sudah aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan. Selain pernah menduduki kursi Ketua Dewan Mahasiswa ITB (1965-1966), ia juga sempat menjadi Ketua Umum HMI Cabang Bandung (1964-1965).
Selain terlibat dalam organisasi mahasiswa, sejak tahun 80-an Adi juga dikenal aktif di sektor kemasyarakatan melalui wadah LSM. Padahal ia pernah menjadi manajer di PT Krama Yudha, namun jabatan itu ia tinggalkan meski memberikan materi yang cukup menjanjikan. Pada tahun 1988 hingga 1993, Adi menjadi ketua Tim Pengkajian Pengembangan Perumahan Rakyat di Kementerian Perumahan Rakyat. juga pernah menjadi ilmuwan senior di BPPT, serta sempat menjabat sebagai anggota Dewan Riset Nasional periode 1993-1999.
Sebagai aktivis LSM, suami dari Male Maria ini selalu berusaha dekat dengan rakyat kecil. Adi yang sejak kecil sudah terbiasa melihat kedua orangtuanya mengabdikan hidup pada masyarakat kelas bawah terinspirasi untuk melakukan hal yang sama. Ia mendekat dengan mereka yang kian terpinggirkan, mulai dari petani, tukang becak, nelayan, pedagang kakilima, buruh, hingga pemulung sampah. Merekalah yang menurut Adi kian tertindas dalam sejarah sosial yang panjang sejak jaman penjajahan hingga masa kemerdekaan karena kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi kepada sektor modern dan kepentingan kaum elit.
Sebelum zaman reformasi bergulir, kebanyakan orang lebih memilih tiarap, menyerah pada keadaan, membungkuk kepada kekuasaan, dan kepentingan kebendaan. Sebagian kaum terdidik dan profesional bahkan cenderung bersikap oportunistik, sebagian lagi masuk ke dalam sistem mencoba ‘merubah dari dalam’ namun ternyata mereka malah ‘dirubah’ di dalam sistem.
Adi Sasono berpendapat bahwa mustahil menjalankan pemikiran tanpa tindakan sosial alternatif. Oleh karena itu, harus dibangun kesadaran dan kehendak rakyat untuk bisa mengambil prakarsa untuk merubah nasib melalui tindakan bersama. Ia berprinsip harus ada siklus antara pemikiran, penyadaran, dan tindakan sosial dalam satu rantai berkesinambungan untuk mewujudkan transformasi sosial dari masyarakat yang feodal, yang membungkuk pada kekuasaan dan cenderung menyembah kepada harta benda menjadi masyarakat yang maju, setara, modern, demokratis dan beradab. Artinya harus ada transformasi sosial dari masyarakat terbelakang pra-madani menjadi masyarakat madani.
Berangkat dengan pemikiran teoritis tadi, ia banyak melahirkan buku-buku dalam perspektif ekonomi politik tentang ketergantungan dan kemiskinan. Melalui LSM yang dipimpinnya, berbagai penghargaan tingkat nasional dan internasional juga telah berhasil diraihnya, antara lain Agha Khan Award untuk perencanaan dan pembangunan kota dengan prinsip "membangun tanpa menggusur" yang merupakan proyek di kota Samarinda oleh Lembaga Studi Pembangunan (LSP). Selain itu melalui lembaga yang sama untuk proyek Low Cost Housing Perumahan Buruh Pabrik Bina Karya di Bandung. Di tingkat nasional, PUPUK (Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil), sebuah LSM yang pernah didirikan dan dipimpinnya memperoleh penghargaan Upakarti yang diberikan oleh pemerintah Indonesia untuk pengembangan industri kecil pada tahun 1990. Sembilan tahun berselang, Adi memperoleh penghargaan Bintang Mahaputera Adi Pradana.
Media pun tak mau ketinggalan menyikapi sepak terjang Adi sebagai aktivis LSM yang menggalakkan program ekonomi kerakyatan. Dalam satu tulisan di Majalah Far Eastern Economic Review edisi minggu pertama Desember 1998, bahkan menjulukinya sebagai "The Indonesia’s Most Dangerous Man?" (Orang Indonesia yang Paling Berbahaya?). Menurut majalah mingguan itu, julukan tersebut diberikan pada Adi karena kebijakan politik ekonomi kerakyatannya yang membuat khawatir para pelaku bisnis konglomerat. Lain halnya dengan majalah The Economist, majalah dari Inggris itu menyebutnya sebagai Robin Hood van Java.
Adi Sasono berpendapat bahwa mustahil menjalankan pemikiran tanpa tindakan sosial alternatif. Oleh karena itu, harus dibangun kesadaran dan kehendak rakyat untuk bisa mengambil prakarsa untuk merubah nasib melalui tindakan bersama. Ia berprinsip harus ada siklus antara pemikiran, penyadaran, dan tindakan sosial dalam satu rantai berkesinambungan untuk mewujudkan transformasi sosial dari masyarakat yang feodal, yang membungkuk pada kekuasaan dan cenderung menyembah kepada harta benda menjadi masyarakat yang maju, setara, modern, demokratis dan beradab.
Anggapan dirinya sebagai sosok yang ’berbahaya’ menurut Adi menunjukkan ketidakpahaman berbagai pihak tentang kebijakan ekonomi kerakyatan. Ia menjelaskan bahwa tugas utama kebangsaan adalah mengoreksi ketidakadilan yang telah berlangsung lama dalam sejarah Indonesia yang menyebabkan sekelompok kecil orang menguasai hampir semua sumber daya ekonomi dan politik. Sementara di sisi lain, rakyat jelata harus bergulat dalam lingkaran kemiskinan yang serba berkekurangan bahkan untuk sekadar mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Padahal, dalam sejarah bangsa, rakyat kecillah yang mendukung perjuangan kemerdekaan melawan penjajah. Dalam masa krisis sektor ekonomi, rakyat yang mempertahankan kelangsungan hidup negara karena kemampuannya menyerap kesempatan kerja dan meredam ketegangan sosial.
Pengalaman yang lalu memberi pelajaran ketergantungan kepada konglomerat menciptakan ketergantungan asing karena besarnya komponen impor dalam proses pembangunan nasional. Kemandirian nasional hanya mungkin dibangun kalau dasar pembangunan ekonominya adalah rakyat dengan prakarsa kemampuan dan sumber daya lokal yang tinggi. Tanpa kemandirian sulit dibayangkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang terhormat. Karena itu, diantara tugas kebangsaan yang mendesak membangun kemandirian adalah dasar dari pernyataan rasa nasionalisme kita. Dengan dasar nasionalisme kerakyatan, Adi yakin, bangsa Indonesia akan tampil kembali sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat.
Ekonomi rakyat yang maju akan membuat lingkungan sosial menjadi lebih bersahabat untuk dunia usaha dan memperluas basis masyarakat konsumen yang berdaya beli tinggi. Karena itulah menurut keyakinan Adi, koreksi ketidakadilan harus digerakkan tidak untuk menghancurkan perusahaan besar. Paham ekonomi rakyat tidak anti yang besar, yang dipersoalkan adalah kecenderungan monopoli yang menciptakan ekonomi biaya tinggi dan beban bagi rakyat konsumen karena ketiadaan kompetisi di dalam proses ekonomi pasar. Paham ekonomi rakyat ditujukan untuk mengatasi ketidakadilan dan kemiskinan masal yang menjadi sumber ketegangan sosial selama ini. Perjuangan membangun ekonomi rakyat diarahkan agar terbentuk kelas menengah sebagai mayoritas masyarakat bangsa yang mendukung pembangunan sejati yang berkelanjutan dan dasar bagi terbentuknya masyarakat yang demokratis.
Dalam perjalanan hidupnya, Adi pernah menjabat sebagai Menteri Koperasi dan UKM Kabinet Reformasi era Presiden BJ Habibie. Dengan jabatan yang awalnya dipegang oleh Subiyakto Tjakrawerdaya itu, kesempatan untuk memperjuangkan kesejahteraan kaum miskin semakin terbuka lebar dimana rakyat petani, nelayan serta usaha mikro dan kecil di seluruh Indonesia dipercepat peengembangan ekonominya.
Menurut Adi, nasib manusia harus diperjuangkan. Perbaikan nasib tidak akan jatuh dari langit. Karena itu, seluruh komponen bangsa harus bersatu untuk membangun kesadaran kolektif bagi terwujudnya keadilan sosial dan kedaulatan rakyat yang sebenar-benarnya baik secara politik maupun ekonomi.
Prinsip keadilan, adalah kata kunci dalam menjalani hidupnya, termasuk ketika bertugas sebagai menteri. Ia berharap, prinsip keadilan menjadi roh yang mewarnai perjalanan hidup bangsa menuju Indonesia Baru. Dengan terus memupuk keyakinan bahwa konsep negara dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tak akan pernah sirna. Sayangnya jabatan tersebut hanya diembannya kurang dari dua tahun, dari 23 Mei 1998 hingga 20 Oktober 1999.
Setelah sempat menghilang, Adi kembali meramaikan panggung politik dengan mengusung bendera Partai Merdeka, sebuah partai politik yang didirikannya pada 10 Oktober 2002. Partai tersebut pertama kali tampil dalam pemilu tahun 2004 dan 2009.
Tiga aspek yang ditonjolkan dalam prinsip partai ini adalah aspek kebangsaan, kerakyatan dan kemandirian. Para pendiri partai ini sebelumnya menyalurkan aspirasi dan pemikiran mereka kepada partai politik yang telah ada terlebih dahulu. Dalam perjalanannya karena merasa tidak ada parpol yang mampu mewujudkan aspirasi tersebut, maka akhirnya mereka bergabung dan mendirikan Partai Merdeka di bawah komando Adi Sasono.
Partai Merdeka mempunyai fokus program kerja untuk memajukan ekonomi kerakyatan dengan dukungan dari organisasi koperasi, serikat pekerja, guru, usaha kecil menengah, pedagang kaki lima, nelayan dan kaum intelektual.
Selain itu, ayah lima anak ini juga aktif di berbagai organisasi profesi. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Pimpinan harian Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) selama dua periode berturut-turut, 2004-2009 dan 2009-2014.
Dalam sebuah pidatonya saat masih menjabat sebagai Ketua Pimpinan harian Dekopin di Seminar Sehari tentang Perkoperasian Dalam Rangka Memperingati HUT Koperasi ke-61 tahun 2008, Adi menyampaikan pandangannya mengenai koperasi dan UKM.
Ia menilai dalam menghadapi tantangan global, pelaku koperasi dan UKM perlu merubah cara berpikirnya menjadi pola berpikir kreatif dan inovatif. Bila tidak, maka negara-negara lain terutama negara yang memiliki modal besar akan tetap menjadikan Indonesia sebagai sapi perahan ekonominya. Menurutnya, mulai merubah cara pikir merupakan hal yang amat penting, mengingat saat ini yang menguasai perekonomian dunia bukan lagi mereka yang memiliki sumber daya alam dan bahan baku berlimpah. Orang yang menguasai perekonomian adalah mereka yang mampu berpikir kreatif dan menciptakan berbagai inovasi baru.
Ia juga memberi contoh bentuk pemerasan negara lain yang menjadikan Indonesia sebagai 'sapi perahan', di antaranya Indonesia sebagai sumber bahan mentah, sumber buruh berpenghasilan rendah dan sumber pemasaran serta sumber pasar potensial atas berbagai produk yang diciptakannya.
"Jadi, negara asing membeli bahan baku di negeri ini dengan harga murah yang kemudian diolah dengan mempekerjakan tenaga kerja Indonesia dengan penghasilan sangat rendah. Hasil produksi tersebut kemudian dijual lagi ke Indonesia dengan harga mahal," jelas mantan Sekretaris Umum ICMI tahun 90-an itu.
Untuk menghindari penjajahan gaya baru semacam itu dan tidak terus terjadi di Indonesia, ia meminta agar masyarakat terutama pelaku koperasi dan UKM di Tanah Air berpikir kreatif dan inovatif dengan menciptakan dan meningkatkan berbagai produk unggulan, termasuk produksi kerajinan dan pertanian unggulan masing-masing daerah.
Adi juga menyoroti langkah pemerintah mengundang dan memfasilitasi pemilik-pemilik modal asing seperti Carrefour, Alfamart dan perusahaan retail lainnya untuk mengembangkan usahanya di Indonesia sebagai langkah yang keliru. Sebab, kehadiran pemilik modal asing ini akan menghabisi dan menyingkirkan usaha-usaha rakyat terutama kalangan pelaku kecil dan menengah, seperti kios-kios dan warung-warung kecil.
Memang diakuinya, sudah menjadi sifat konsumen yang ingin mendapatkan pelayanan yang cepat dan tepat di tempat yang layak dan bersih. Namun untuk mensiasati hal itu sebenarnya tidak perlu mendatangkan pemilik modal asing, cukup dengan cara memoderenkan pasar-pasar tradisional dengan tempat dan lokasi yang lebih menarik.
Artikel keren lainnya: