BAB III
PEMBAHASAN
Makalah ini membahas tentang sejarah manusia purba di Indonesia, jenis-jenis manusia purba yang ditemukan di Indonesia, dan lokasi penemuan fosil manusia purba di Indonesia.
3.1 Sejarah Manusia Purba di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu tempat ditemukannya fosil manusia purba. Ini artinya, Indonesia pada masanya pernah didiami oleh manusia purba. Kenyataan ini menjadikan Indonesia menjadi salah satu tempat penting bagi para ahli yang akan melakukan studi tentang manusia purba. Adapun tempat lain yang juga ditemukan fosil manusia purba yaitu Prancis, Jerman, Belgia, dan Cina.
Faktor apakah yang membuat Indonesia menjadi tempat menarik untuk didiami oleh manusia purba? Kita tahu, kehidupan manusia purba masih sangat bergantung oleh alam. Jadi besar kemungkinan faktor utama yang menarik manusia purba untuk mendiami Indonesia adalah kesuburan tanahnya serta kekayaan akan faunanya. Sejak 10.000 tahun yang lalu ras-ras manusia seperti yang kita kenal sekarang ada di Indonesia. Pada kala Holosin dikenal dua ras, yaitu ras Austromelanosoid dan ras mongoloid. Ras Austromelanosoid mempunyai ciri-ciri tubuh agak besar, tengkorak kecil, rahang kedepan, hidung lebar, alat pengunyah kuat. Ras mongoloid memiliki ciri-ciri tubuh lebih kecil, tengkorang sedang, muka lebar dan datar, hidung sedang. Temuan rangka manusia Pos Plestosin di pantai timur Sumatera Utara, gua-gua di Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara. Sisa-sisa manusia di langsa tamiang dan binjai menunjukkan ciri-ciri austromelanosoid.
Dengan melihat keadaan di Sumatera Timur dan membandingkan dengan keadaan di pantai selat Malaka, manusia ini memakan bintang laut, kerang laut, dan ikan, disamping beberapa hewan darat, seperti babi dan badak. Manusia ini juga telah mengenal api, mengubur mayat, dan upacara tertentu. Pada saat bersamaan di gua lawa, sampung, ponorogo, didapati manusia yang termasuk ras Austromelanosoid. Mereka hidup dari binatang buruan, seperti kerbau, rusa, dan gajah.
Di Flores, yaitu Liang Toge, Liang Momer, dan Liang Panas didapatkan sisa-sisa manusia yang menunjukkan ciri-ciri Austromelanooid. Di Liang Toge, Flores Barat manusianya diperkirakan hidupnya secara meramu dan berburu. Dari data tersebut maka populasi di Indonesia di kala Pos Plestosin: Sumatera, Jawa, dan Nusa Tenggara didiami ras Austromelanosoid dengan sedikit unsur Mongoloid, tapi di Sulawesi selatan menunjukan ras mongoloid. Mungkin karena pengaruh mongoloid melalui Filipina – Kalimantan – Sulawesi.
Kehidupan praaksara di Indonesia dimulai sejak munculnya manusia purba. Berdasarkan banyaknya fosil purba yang ditemukan, menunjukkan bahwa Indonesia merupakan tempat yang menarik bagi manusia purba untuk ditempati. Oleh karena itu, Indonesia menjadi sangat penting bagi para ilmuan
3.2 Jenis-Jenis Manusia Purba yang Ditemukan di Indonesia
Berdasarkan penelitian yang dilakukan para ahli, fosil manusia purba yang ditemukan di Indonesia dapat dibedakan menjadi Meganthropus, Pithecanthropus, dan Homo sapiens.
3.2.1 Meganthropus
Jenis manusia purba ini berdasarkan penelitian von Koenigswald di Sangiran pada tahun 1936 dan 1941. Ukuran fisik manusia purba jenis ini serba besar dan bentuknya tegap. Para ahli kemudian menamai manusia purba jenis ini Meganthropus paleojavanicus yang artinya manusia raksasa dari Jawa. Diperkirakan makanan manusia jenis ini adalah tumbuhan dan masa hidupnya pada zaman Pleistosen Awal.
Berdasarkan fosil yang ditemukan, para ahli menduga Meganthropus paleojavanicus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Tulang pipi yang tebal
2) Otot kunyah yang kuat
3) Kening menonjol
4) Memiliki tonjolan belakang yang tajam
5) Tidak memiliki dagu
6) Memiliki perawakan yang tegap
7) Memakan jenis tumbuhan
8) Geraham besar
9) Bentuk muka diduga masih masif
10) Bentuk gigi homonin
11) Permukaan kunyah tajuk terdapat banyak kerut
Fragmen fosil Meganthropus yang ditemukan masih sangat sedikit. Sampai sekarang belum ditemukan perkakas atau alat-alat yang digunakan oleh Meganthropus. Para ahli mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi keberadaan dan kebudayaan yang ditingalkan. Oleh karena itu, para ahli masih berbeda pendapat tentang keberadaan Megantropus. Sebagian ahli menganggap sebagai Pithecanthropus, tetapi ada juga ahli yang menganggapnya sebagai Australopithecus.
3.2.2 Pithecanthropus
Manusia purba jenis Pitchecanthropus banyak ditemukan di Indonesia nama Pitchecanthropus berasal dari dua kata yaitu pithecos dan anthropus. Fosil Pitchecanthropus dapat ditemukan di Trinil,Mojokerto, Kedungbrubus, Sangiran, Sambungmacan, dan Ngandong. Daerah-daerah tersebut diduga masih berupa padang rumput dengan pohon-pohon jarang sehingga cocok sebagai daerah perburuan. Manusia jenis ini hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan. Mereka tinggal di tempat terbuka dan hidup berkelompok.
Secara umum Pithecanthropus memiliki ciri-ciri berubuh tegap dengan tinggi badan 165-180 cm, alat pengunyahnya tidak sehebat Meganthropus, belum ada dagu dan hidungnya lebar dengan volume otak berkisar 750-1.300 cc. Pithecanthropus hidup sekitar 2,5 juta-200 ribu tahun yang lalu. Beberapa jenis Pithecanthropus yang ditemukan di Indonesia antara lain Pithecanthropus mojokertensis, Pithecanthropus erectus, dan Pithecanthropus soloensis. Setiap jenis manusia purba tersebut memiliki ciri fisik yang berbeda.
3.2.2.1 Pithecanthropus mojokertensis
Pithecanthropus mojokertensis (manusia kera dari Mojokerto) merupakan manusia purba jenis Pithecanthropus tertua yang ditemukan di Indonesia. Manusia purba jenis ini diperkirakan hidup sekitar 2,5-1,25 juta tahun yang lalu. Pithecanthropus mojokertensis ditemukan oleh von Koeningswald di Mojokerto pada tahun 1936. Fosil yang berhasil ditemukan berupa tengkorak anak-anak, atap tengkorak, rahang atas, rahang bawah, dan gigi lepas. Berdasarkan temuan tersebut, ciri-ciri Pithecanthropus mojokertensis dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1) Tulang pipi kuat
2) Berbadan tegap
3) Tonjolan kening tebal
4) Otot tengkuk kukuh
5) Muka menonjol ke depan
6) Volume otak 650-1.000 cc
3.2.2.2 Pithecanthropus erectus atau Homo erectus
Pithecanthropus erectus (manusia kera berjalan tegak) merupakan manusia purba yang memiliki persebaran paling luas. Sehingga frakmen yang ditemukan lebih banyak. Fragmen fosil yang berhasil ditemukan antara lain atap tengkorak, tulang paha, rahang bawah, gigi lepas, dan tulang kering. Sebagian besar fosil ditemukan di tepi Sungai Bengawan Solo. Berdasarkan fosil yang ditemukan, para ahli menduga ciri-ciri Pitchecanthropus Erectus sebagai berikut:
1) Tinggi badan sekitar 160 – 180 cm
2) Volume otak berkisar antara 750 – 1000 cc
3) Bentuk tubuh dan anggota badan tegap, tetapi tidak setegap meganthropus
4) Alat pengunyah kuat
5) Bentuk geraham besar dengan rahang yang sangat kuat
6) Bentuk tonjolan kening tebal melintang di dahi dari sisi ke sisi
7) Bentuk hidung tebal dan lebar
8) Bagian belakang kepala tampak menonjol menyerupai wanita berkonde
9) Muka menonjol ke depan, dahi miring ke belakang
Sedangkan, hasil budaya Pithecanthropus erectus antara lain:
-Kapak perimbas
-Kapak penetak
-Kapak gengam
-Pahat gengam
-Alat serpih
-Alat-alat tulang
3.2.3 Homo
Hasil penelitian Van Koeningswald menyimpulkan bahwa makhluk yang diberi nama homo ini memiliki tingkatan lebih tinggi dibanding Pitchecanthropus Erectus dan Meganthropus. Bahkan manusia purba jenis homo dapat dikatakan sebanding dengan manusia biasa. Di Indonesia ditemukan tiga jenis fosil homo, yaitu Homo soloensies, Homo wajakensis, dan Homo florensiensis.
3.2.3.1 Homo soloensies
Nama Homo soloensies berarti manusia dari solo. Fosil ini ditemukan oleh von Koeningswald di daerah Ngandong, tepi Sungai Bengawan Solo antara tahun 1931-1934. Manusia jenis ini diperkirakan hidup sekitar 900-200 ribu tahun yang lalu.
Ciri-ciri Homo Soloensis:
- Volume otaknya antara 1000 – 1200 cc
- Tinggi badan antara 130 – 210 cm
- Berat badan 30-150 kg
- Otot tengkuk mengalami penyusutan
- Muka tidak menonjol ke depan
- Berdiri tegak dan berjalan lebih sempurna
Hasil Budaya Homo Soloensis
- Kapak gengam / Kapak perimbas
- Alat serpih
- Alat-alat tulang
- Alat-alat zaman dahulu
3.2.3.2 Homo Wajakensis
Nama Homo wajakensis berarti manusia dari wajak. Fosil ini ditemukan oleh Eugene Dubois di Desa Wajak, Tulungagung pada tahun 1889. Manusia purba ini diperkirakan hidup sekitar 40-25 ribu tahun yang lalu. Menurut Eugene Dubois, Homo wajakensis termasuk ras Australoid dan bernenek moyang Homo soloensis. Von Koeningswald memasukkan Homo wajakensis dalam jenis Homo sapiens (manusia cerdas) karena sudah mengenal upacara penguburan.
3.2.3.3 Homo florensiensis
Pada tahun 2003 para ilmuwan dari Australia dan Indonesia melakukan peggalian di gua Liang Bua, Flores. Mereka berhasil menemukan fosil tengkorak manusia purba yang memiliki bentuk mungil atau hobbit. Manusia purba yang ditemukan di Gua Liang Bua tersebut kemudian diberi nama Homo Floresiensis. Ukuran manusia ini tidak lebih besar dari anak-anak usia lima tahun. Homo Floresiensis diperkirakan memiliki tinggi badan 100 cm dan berat badan 30 kg. Selain itu, mereka sudah berjalan tegak dan tidak memiliki dagu. Manusia purba ini hidup di Kepulauan Flores sekitar 18.000 tahun lalu. Homo floresiensis hidup sezaman dengan gajah-gajah pigmi (gajah kerdil) dan kadal-kadal raksasa (komodo) di Flores.
Menurut tim ilmuwan yang menemukan fosil tersebut. Homo floresiensi merupakan keturunan spesies Homo erectus yang hidup di Asia Tenggara sekitar 1 juta tahun lalu. Akibat proses seleksi alam, tubuh mereka berevolusi menjadi bentuk yang lebih kecil. Hipotesis ini didasarkan pada penemuan berbagai peralatan yang biasa digunakan oleh Homo erectus di sekitar fosil Homo floresiensis. Selain itu, di Flores ditemukan fosil stegodon (gajah purba) berukuran kecil. Penemuan ini semakin menguatkan ipotesis para ilmuwan bahwa banyak makhluk hidup di pulau ini menyesuaikan diri dengan habitatnya dengan cara menjadi lebih kecil.
Sementara itu, dalam jumlah ilmiah Nature para ilmuwan lan menjelaskan Homo Floresiensis sebagai spesies baru manusia. Akan tetapi, pendapat ini ditentang oleh para peneliti dari Universitas Gadjah Mada. Menurut mereka, Homo floresiensis bukan merupakan spesies baru, melainkan nenek moyang dari orang-orang katai Flores yang menderita penyakit microcephalia, yaitu bertengkorak kecil dan berotak kecil. Sampai sekarang penyakit tersebut masih ditemukan pada beberapa penduduk yang hidup di sekitar Gua Liang Bua.
3.3 Lokasi Penemuan Fosil Manusia Purba di Indonesia
Penemuan fosil manusia purba untuk sementara ini yang paling banyak ditemukan berada di Pulau Jawa. Meskipun di daerah lain tentu juga ada, tetapi para peneliti belum berhasil menemukan tinggalan tersebut atau masih sedikit yang berhasil ditemukan, misalnya di Flores. Berikut ini akan dipaparkan mengenai penemuan penemuan penting fosil manusia di beberapa tempat.
3.3.1 Sangiran
Secara geografis, Sangiran terletak di kaki Gunung Lawu dan sekitar 15 km dari lembah Sungai Bengawan Solo. Sangiran dianggap pusat peradaban besar, penting, dan lengkap manusia purba di Indonesia, bahkan dunia. Sangiran merupakan pusat perkembangan manusia dunia yang memberikan petunjuk tentang keberadaan manusia sejak 150.000 tahun yang lalu.
Karakteristik wilayah Sangiran berbentuk menyerupai kubah raksasa berupa cekungan besar di pusat kubah akibat erosi di bagian puncaknya. Kubah raksasa tersebut diwarnai dengan perbukitan bergelombang. Kondisi deformasi geologis itu menyebabkan tersingkapnya berbagai lapisan batuan yang mengandung fosil-fosil manusia puba dan binatang, termasuk artefak. Lapisan batuan Sangiran memperlihatkan proses evolusi lingkungan yang sangat panjang. Proses itu dimulai dari formasi Kalibeng berlanjut pada formasi Pucangan, formasi Kabuh, dan formasi Notopuro.
Penelitian purbakala di Sangiran diawali oleh P.E.C. Schemulling pada tahun 1864, dengan laporan penemuan fosil vertebrata dari Kalioso, bagian dari wilayah Sangiran. Semenjak dilaporkan Schemulling situs itu seolah-olah terlupakan dalam waktu yang lama. Selanjutnya, pada tahun 1895 Eugene Dubois mendatangi tempat ini, tetapi Dubois tidak menghasilkan temuan sehingga dokter dan ahli anatomi tidak berminat untuk melanjutkannya. Pada tahun 1932, seorang ahli geografi, L.J.C. van Es, membuat peta geologi di kawasan Sangiran dengan skala 1:20.000. peta ini kemudian dimanfaatkan oleh Gustav Heindrich Ralph von Koeningswald pada tahun 1934 untuk melakukan survei eksploratif wilayah Sangiran.
Berbekal peta tersebut, Koeningswald berhasil menemukan berbagai peralatan manusia purba. Di sela-sela survei tersebut, pada tahun 1936 seorang penduduk menyerahkan sebuah fosil rahang kanan manusia purba kepada Koeningswald. Inilah temuan pertama fosil manusi purba yang diberi kode S1 (Sangiran 1). Sejak saat itu hingga 1941, ditemukan fosil manusia purba Homo erectus. Homo erectus merupakan takson paling penting dalam sejarah manusia, sebelum masuk pada tahapan manusia Homo sapiens, manusia modern.
Sejak penemuan von Koeningswald, situs Sangiran menjadi sangat terkenal dan secara resmi ditetapkan sebagai Warisan Dunia pada tahun 1966, yang tercantum dalam Nomor 593 Daftar Warisan Dunia (World Heritage List) UNESCO.
3.3.2 Trinil, Ngawi, Jawa Timur
Trinil merupakan sebuah situs paleoantropologi di pinggiran Bengawan Solo. Penelitian kehidupan manusia purba di Trinilsudah dilakukan jauh sebelum penelitian yang dilakukan von Koeningswald di situs Sangiran. Penelitian manusia purba di Trinil dilakukan pertama kali oleh Eugene Dubois.
Penelitian Eugene Dubois diawali dengan penggalian pada endapan aluvial Bengawan Solo dan dari lapisan tersebut ditemukan tulang rahang. Dalam penggalian berikutnya, Eugene Dubois berhasil menemukan gigi geraham, bagian atas tengkorak, dan tulang paha kiri. Eugene Dubois memberi nama penemuannya Pithecanthropus erectus yang berarti manusia kera berjalan tegak. Pada masa sekarang para ahli sepakat menyebut Pitechanthropus erectus dengan sebutan Homo erectus yang artinya manusia berjalan tegak.
Tengkorak Pithecanthropus erectus dari Trinil sangat pendek tetapi memanjang ke belakang. Volume otaknya sekitar 900 cc, di antara otak kera (600 cc) dan otak manusia modern (1.200-1.400 cc). Tulang kening sangat menonjol dan di bagian belakang mata terdapat penyempitan yang sangat jelas, menandakan otak yang belum berkembang. Pada bagian belakang kepala terlihat bentuk meruncing yang diduga pemiliknya merupakan perempuan. Berdasarkan kaburnya sambungan perekatan antartulang kepala, ditafsirkan individu ini telah mencapai usia dewasa.
Penemuan manusia purba jenis Homo erectus oleh Eugene Dubois telah mendorong beberapa penelitian lain. Pada tahun 1907-1908 Selenka melakukan penelitian dan penggaian di Desa Trinil. Dalam penelitiannya ini, Lenere Selenka tidak berhasil menemukan fosil manusia. Akan tetapi, ia berhasil menemukan fosil-fosil hewan dan tumbuhan yang dapat memberikan dukungan untuk menggambarkan lingkunga hidup Homo erectus. Inilah penelitian pertama yang mengaitkan fosil manusia dengan lingkungan alamnya.
3.3.3 Ngandong
Ngandong merupakan sebuah desa di tepi Bengawan Solo dalam wilayah Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Pada tahun 1933, Ter Haar, Oppenoorth, dan von Koeningswald melakukan penelitian di daerah ini dan berhasil menemukan beberapa atap tengkorak yang diidentifikasi sebagai Homo soloensis. Berdasarkan morfologi yang dimiliki, manusia Ngandong digolongkan sebagai Homo erectus paling maju. Tengkorak Homo erectus Ngandong berukuran besar dengan volume otak rata-rata 1.100 cc, lebih besar dibandingkan dengan Homo erectus dari sangiran dan Trinil.
3.3.4 Patiayam
Situs Patiayam merupakan daerah perbukitan di lereng Gunug Muria, sebelah utara jalan raya antara Kota Kudus dan Pati. Penemuan fosil manusia di daerah ini terjadi pada tahun 1978 ketika tim dari Pusat Arkeologi Nasional menemukan gigi dan pecahan tengkorak Homo erectus. Dari penelitian selanjutnya diketahui bahwa fosil Homo erectus ini berasal dari formasi Slumprit yang berumur awal ploistosen tengah.
3.3.5 Wajak
Wajak merupakan sebuah desa yang terletak di Tulungagung, Jawa Timur. Nama Wajak mulai terkenal pada tahun 1889 saat B.D. Reitschoten menemukan sebuah fosil tengkorak. Fosil tersebut kemudian diserahkan kepada C.P. Sluiter, kurator dari Koninklijke Natuurkundige Vereeniging (Perkumpulan Ahli Ilmu Alam) di Batavia pada saat itu. Sluiter kemudian menyerahkan fosil tengkorak Wajak kepada Eugene Dubois.
Bagi Dubois, fosil tersebut membuka harapan baru untuk menemukan missing link asal usul manusia. Ini sesuai teori ahli geologi Verbeek yang sepakat bahwa pegunungan batu gamping tersier di Jawa sangat menjanjikan bagi Dubois. Dubois akhirnya tinggal selama lima tahun di Tulungagung yang saat itu masih merupakan kota kecil bagian dari Kediri. Dia menyusur kembali tempat Rietschoten menemukan fosil tengkorak manusia, yakni di cekungan bebatuan sekitar Wajak. Di sekitar tempat itu Dubois menemukan fosil mamalia dan reptil, serta fosil tengkorak meskipun tidak seutuh temuan Rietschoten. Fosil temuannya diberi nama Homo wajakensis.
3.3.6 Flores
Penelitian kehidupan purba di Flores dimulai pada tahun 2003. Penelitian tersebut dilakukan oleh beberapa ilmuwan dari Indonesia dan Australia. Tim Indonesia dipimpin oleh Raden Pandji Soejono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan tim Australia dipimpin oleh Mike Morwood dari Universitas New England. Pada penggalian di gua Liang Bua, Flores, para ilmuwan tersebut menemukan fosil manusia kerdil atau hobbit yang diberi nama Homo floresiensis.