Jakarta
Totilawati Tjitrawasita
Pak Pong mengunjungi adiknya di Jakarta. Adiknya merupakan seorang Jenderal. Pak Pong tampak kebingungan karena ia harus mendaftar, padahal seingatnya, adiknya bukan dokter. Pak Pong : “Semua harus mengisi buku ini? Sekalipun saudara atau ayahnya, umpamanya?”
Penjaga : “Iya, Tuan. Silakan tulis nama, alamat, dan keperluan.”
Pak Pong : “Cukup? Dia tau siapa saya.”
Penjaga memeriksa buku tamunya.
Penjaga : “Tanda tangannya belum, Tuan. Dan alamatnya?”
Pak Pong : “Begini?”
Pak Pong melamun, membayangkan reaksi adiknya, namun tiba-tiba pintu berderit. Ia berdiri hendak menyambut adik misannya. Namun, yang keluar terjanya penjaga.
Pak Pong : “Bagaimana?”
Penjaga : “Duduklah Tuan, duduk saja. Pak Jenderal sedang ada tamu. Tapi saya lihat Pak Jenderal heran melihat nama Bapak disitu.”
Pak Pong kembali duduk, sambil menepuk-nepuk celanyanya yang terkena debu.
Pak Pong : “Boleh merokok?”
Penjaga : “Silakan, silakan.”
Pak Pong : “Mau? Silakan lho!”
Penjaga : “Oh, tidak terima kasih.”
Pak Pong : “Baiklah, tapi jangan paggil saya Tuan, ah. Saya bukan Tuan. Orang awam, sama seperti Saudara. Nama saya Waluyo. Orang-orang memanggilku ‘Pak Pong’. Lihat saja nanti, Pak Jenderalmu pasti memanggil aku dengan ‘Pak Pong’ terlalu banyak makan singkong, kalau rakus dikasih teletong. Ooh, sejak kecil kami memang suka berolok-olok.”
Penjaga : “Tuan, eh Pak Pong petani?”
Pak Pong : “Petani? Apa potongan saya petani? Bukan! Tapi waktu remaja memang kami suka pencak silat. Rupanya meninggalkan bekas juga, pada potongan tubuhku. Atau karena baju model cina ini ya? Saya, guru SD di Desa Nggesi. Sekolah ini telah menghasilhkan orang-orang besar. Murid saya yang pertama sekolah sudah Kapten, ada juga yang insinyur. Dan Pak Jenderalmu, murid yang paling jempolan. Otaknya tajam sekali.”
Bel mendadak menjerit tiga kali menghentikan dongengnya. Penjaga itu berdiri dengan tergesa-gesa
Penjaga : “ Tunggu sebentar, mungkin Bapak sudah diperlukan.”
Penjaga nyelonong duduk dan menegurnya, membuyarkan angan-angan masa lalunya.
Penjaga : “Pak Pong mau minum apa? Pak Jenderal bilang saya harus menemani Bapak, sebab Pak Jenderal lagi sibuk. Sebentar lagi ad atamu istimewa, Pak Menteri. Minumnya apa, Pak? Juice? Coca Cola?”
Pak Pong : “Apa saja, boleh. Kopi kalau ada.”
Penjaga : “Aih, Jakarta panas, kenapa kopi? Tapi apa Bapak Sadudaranya Pak Jenderal? “
Pak Pong : “Ya, kakak sepupu. Sejak kecil dia yatim piatu. Ibu Bapaknya meninggal kena wabah kolera. Dia dua saudara, adik perempuannya bernama Tinah. Lantas keduanya diambil oleh orang tua kami, dibesarkan dalam kandang yang sama, di Nggesi. Kami memang keluarga petani, tapi dia agak lain, otaknya luar biasa. Sejak kecil dia sudah menunjukkan bakatnya, selalu saja dibuatnya hal-hal yang mengagumkan. Karenanya kami semua bersepakat untuk mengirimnya ke kota, sekolah. Waktu itu kami menjual sapi dan padi untuk ongkos-ongkosnya. Lantas saya waktu sudah jadi guru, saya kirimkan seluruh gaji untuk biayanya, sebab di desa kami kan bisa makan apa saja. Ooh, apa itu Pak Menteri?”
Seperti disengat lebah, penjaga yang didekatnya meloncaat bangun, setengah berlari menyambut tamu yang baru datang dan bergemataran ketika membukakan pintu mobilnya.
Penjaga : “Langsung saja, Pak.”
Karena gelisah, Pak Pong berdiri berjalan ke arah pintu. Ketika tangannya menyentuh grendel, pintu terdorong dari dalam. Dan penjaga muncul dihadapannya.
Penjaga : “Kabar baik, Pak, kabar baik. Mereka berdua wajahnya cerah-cerah. Menteri itu banyak duit, alamat saya kebagian rejeki. Oo, jadi Pak Pong ini kaka misan Pak Jenderal, ya? Betul mirip memang, dan Pak Jenderal selalu bangga pada keluarganya. Dalam pidatonya selalu disebut-sebutnya anak desa, penderitaan rakyat, dan perjuangan melawan Belanda.”
Pak Pong : “Ya, betul. Rumah kami pernah dijadikan markas, waktu zaman gerilya. Masih lama ya, Pak Menteri itu?”
Penjaga : “Tidak! Asal Bapak Jenderal mau teken, biasanya urusan selesai. Minumnya ditambah lagi ya, Pak?”
Pak Pong : “Ah, tidak usah.”
Karena mengantuk, Pak Pong tertidur di kursinya. Tiba-tiba didengarnya kembali bel tiga kali. Penjaga menggoncang-goncang bahunya.
Penjaga : “Giliran untuk Pak Pong. Mari saya antarkan.”
Pak Pong memasuki ruang tamu.
Pak Pong : “Jo....”
Paijo : “Hallo, Pak Pong, apa kabar? Saya senang bertemu kaka disini. Bagaimana Ibu, Bapak dan Dik Tinah?”
Pak Pong : “Baik, baik, Dik, semuanya kirim salam rindu padamu.”
Paijo : “Kakak tetap saja, penggenbira, awet muda, bajunya potongan Cina.”
Pak Pong : “Hahaha, kamu bisa saja.”
Paijo : “Kakak nginap dimana?”
Pak Pong : “Gambir. Engkau sibuk, Dik? Ada titipan dari Ibu.”
Paijo : “Dari Ibu? Baiklah, nanti saja. Sebentar lagi saya harus rapat di Bina Graha. Kakak nginap di Gambir? Kalau begitu, biarlah penjaga mengantarkan kakak ke sana. Nanti malam Kakak saya tunggu, makan malam di rumah bersama keluarga.”
Paijo berdiri, mengantarkan kakaknya sampai pintu.
Paijo : “Eh, kalian, kemari! Tolong antarkan kakakku ke Gambir.”
Sopir : “Baik, Tuan.”
Mobil merah milik Pak Jenderal meluncur melintasi kota, cepat seperti kilat.
Sopir : “Gambir sebelah mana, Pak?”
Pak Pong : “Stasiun.”
Penjaga : “Stasiun? Kiri apa kanannya, Pak?”
Pak Pong : “Tidak, di stasiunnya itulah. Jam berapa kereta meninggalkan Jakarta? Saya tidak punya famili disini, kecuali dia. Kasihan adikki, repot sekali kelihatannya. Tentu di rumahnya banyak tamu, sehingga saya tidak kebagian ruang dan waktu. Kasihan adikku, seharusnya saya tidak mengganggunya.”
Penjaga : “Pak Pong, kalau Pak Pong mau, biarlah kita bersempit-sempit di gubuk saya. Kereta meninggalkan Jakarta baru besok pagi, jam lima. Ada yang jalan sore, tapi karcisnya sepuluh ribu.”
Pak Pong : “Alhamdulillah. Kamu tidak keberatan, menerima aku satu malam saja?”
Malam itu, Pak Pong berjalan kaki, keliling kota Jakarta, ditemani penjaga.
Pak Pong : “Bukankah itu mobil Paijo? Jangan-jangan dia menjemput aku? Kami memang sudah berjanji, jam tujuh, makan malam.”
Penjaga : “Mobil merah ratusan, Pak, jumlahnya disini. Dan malam ini Pak Jenderal ada di istana, menyambut tamu dari luar negeri.”
Pak Pong : “Istana? Rumahnya Presiden, maksudmu?”
Penjaga : “Ya, rumah Presiden. Nah itu, lampu-lampu yang gemerlapan itu night club. Tahu night club? Night club, Pak, pusat kehidupan malam di kota ini. Tempat orang-orang kaya membuang duit mereka. Lampunya lima watt, remang-remang, perempuan-perempuan cantik, minuman keras, tari telanjang, dan musik yang gila-gilaan. Pendeknya, yahut!”
Pak Pong : “Lantas, apa yang mereka bikin, di situ?”
Penjaga : “Berdansa, bercumbu. Biasa, Pak, Jakarta!”
Pak Pong : “Astaga, Gusti Pangeran, nyuwum pangapura. Dan adikku apa sering kesitu?”
Penjaga : “Tidak kesitu, ke Paprika. Tapi sama saja. Masalah karcisnya mahal di sana, enam ribu!”
Pak Pong : “Enam ribu? Sama dengan dua bulan gajiku,”
Penjaga : “Ya memang begitu, Pak. Kehidupan kota jakarta.”
Pak Pong : “Sepertinya ini lebih baik kuberikan padamu. Kain yang dibatik oleh tangan orang tuaku. Di dalamnya terukir cinta ibu kepada anaknya. Coretan tanah kelahiran yang dikirim untuk mengikat tali persaudaraan!”